Bab 120
Bab 120
Bab 120 Pulang
Kecuali kalau…
Dada Fabian terasa sesak dengan pikiran tersebut, tapi sebelum ia dapat mengumpulkan potongan teka-teki di pikirannya, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara lembut yang datang dari belakangnya.
“Fabian?”
Dia kaget dan berbalik untuk melihat Alin yang sedang menatapnya malu dengan rambutnya yang masih basah.
Wanita itu mempunyai paras cantik yang mirip dengan Vivin, meskipun Alin terlihat sedikit menggoda. Untuk beberapa alasan, tiba-tiba ia merasakan dingin sampai bulu kuduknya berdiri saat melihat Alin.
“Ya… Alin.” Tanpa sadar Fabian mundur beberapa langkah dan berkata, “Orang kantor baru saja meneleponku. Sebuah situasi yang tak terduga terjadi dan aku harus memperbaikinya. Kamu istirahat saja dulu di sini, baru setelah itu pulang ke rumah.”
Fabian langsung beranjak keluar apartemennya tanpa menunggu respon dari Alin.
“Fabian…” Alin tercengang. Dia berniat untuk mengejar Fabian tapi pria itu sudah keluar apartemen. Content © NôvelDrama.Org 2024.
Tak berdaya, Alin hanya berdiri terpaku di lantai.
Ini sudah tengah malam. Apa dia pergi untuk menemui Vivin?
Dalam pikiran itu, Alin teringat kembali dengan berita yang baru ia dengar di telepon, wajahnya mendadak pucat.
Belum lama ini, Alin memerintahkan sebuah penyelidikan untuk menemukan seorang pria tua yang berada pada kejadian dua tahun lalu. Sebelumnya pria itu mengaku bahwa ia tidak menyentuh Vivin, namun kenyataannya pria misterius itu telah melakukan hal tersebut.
Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah tidak ada seorangpun yang berhasil untuk mencari tahu siapa pria tersebut. Dengan kata lain, pria misterius itu lebih berkuasa dari pada dia.
Siapakah pria misterius yang telah merenggut keperawanan Vivin dua tahun lalu?
Besok paginya, ketia Vivin membuka matanya, ia melihat wajah tampan Finno tepat di depan
matanya.
Termangu, ia menatap Finno sejenak sebelum akhirnya tersadar bahwa mereka berdua sudah berdekatan karena tidur di ranjang kecil yang ada di kamarnya.
Tersentak, ia cepat-cepat beranjak bangun dari tempat tidurnya, namun lengan Finno
menahannya dengan erat. Meskipun Finno merasakan Vivin berusaha untuk melepaskan pegangannya, Finno memberengut tanpa membuka matanya, “Ini baru jam tujuh pagi. Berhenti bergerak dan kembali tidur saja.”
Vivin tidak menyangka bahwa Finno sudah bangun. Ia lalu berbaring kaku dan tak bergerak di tempat tidur. Tak berguna seberapa kerasnya ia mencoba, dia tak bisa kembali tidur.
Waktu berjalan lambat, dan segera saja Vivin merasakan keringat dingin timbul karena kegugupannya. Akhirnya, alarmpun berbunyi, dan mata Finno terbuka. Tatapannya langsung tertuju pada Vivin.
“Selamat pagi, Vivin.” Finno menyapanya dengan suara khas baritonnya yang terdengar agak parau, menandakan bahwa kalimat itu adalah yang pertama kali ia ucapkan saat baru bangun tidur. Jantung Vivin berdegup kencang.
Dia tak bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah sementara ia tergagap, “P-Pagi.”
Vivin lalu berdiri untuk menyiapkan handuk bersih dan sikat gigi untuk Finno sebelum ia membantu ibunya untuk mebersihkan diri. Saat sudah selesai, Noah datang dengan sarapan yang telah disiapkan oleh Muti. Muti bahkan membuat porsi tambahan untuk Ratna.
Selagi mereka sarapan, Vivin melihat sekeliling dan berbisik, “Sebenarnya, kita tidak perlu merepotkan Muti seperti itu.”
“Kita tidak merepotkannya; hanya saja memakai sedikit waktunya.” Melahap sesendok sup, Noah menanggapi. “Dengan kata lain, jika anda ingin terus menginap di sini, aku khawatir kalau Muti harus melakukan ini setiap hari.”
Terkejut, Vivin bertanya, “Apa kamu serius untuk menginap lagi di sini besok malam?”
“Aku mau, jika kamu suka,” Finno menjawab dengan santai, “Aku akan meminta Muti untuk membawakan baju tidurku. Sebenarnya bajumu sangat sempit untukku.”
Vivin terdiam.
Dia akhirnya menyadari betapa keras kepala dan rewelnya sifat seorang Finno. Meskipun dia tidak pernah meninggikan suaranya maupun memaksa Vivin untuk melakukan sesuatu, dia selalu mempunyai cara untuk membuat Vivin mengalah.
Aku tidak akan pernah menang untuk melawannya.
“Aku mengerti.” Dia merendahkan pandangannya dan mendesah. Aku akan kembali lagi ke rumah malam ini.”
Kedua sudut bibir Finno terangkat, “Kamu juga bisa membawa ibumu untuk ikut ke sana.”
“Lupakan saja. Ibuku akan merasa tidak nyaman,” Vivin menolak tawaran Finno.
“Baiklah, aku akan meninggalkan seorang perawat dan seorang pelayan untuk menjaganya,” Finno memaksa.
Sudah tahu bahwa dia tidak akan memenangkan perdebatan itu, Vivin hanya dapat mengangguk untuk menyetujuinya.
Setelah sarapan, Finno mengantarkan Vivin ke kantor. Tiba-tiba Vivin teringat bahwa ia
mempunyai rapat yang harus dihadiri pagi ini. Jadi, begitu tiba di kantor dia langsung menuju ke ruang rapat.
Dia sangat terkejut melihat Fabian sudah ada di dalam ruang rapat; Fabian terlihat sedang menyiapkan rapat sendirian.